MASYARAKAT DAN KOTA
Pengalaman
pribadi yang tidak pernah saya lupakan selamanya, setidaknya hingga saat ini.
Pengalaman itu sederhana, tentang pertemuan saya dengan orang yang benar-benar
miskin. Namun dari pertemuan itu, saya mendapatkan pelajaran yang sangat
berharga. Yaitu, pertama tentang sesuatu yang sesungguhnya amat kecil dan
sederhana tetapi ternyata bernilai tinggi. Kedua, usaha yang gigih, sabar, dan
pantang menyerah ternyata membawa keberhasilan. Pada suatu hari, sekembali dari
rumah menuju ke kota kawedanan, dengan berjalan kaki, terjadi hujan deras.
Untuk berteduh, saya singgah di sebuah rumah baru, tidak jauh dari jalan. Saya
dipersilahkan masuk oleh pemiliknya, agar tidak kedinginan. Rupanya,
penghuninya adalah suami isteri yang baru saja menempati rumah, yang saya ingat
rumah itu sekalipun baru, sangat sederhana, terbuat dari bahan kayu dan gedek
(anyaman bambu). Karena hujan cukup lama tidak berhenti, saya ditawari oleh
pemilik rumah untuk menginap di rumah itu. Saya setuju, apalagi waktu sudah
terlalu sore, dan perjalanan menuju kota kawedanan harus melewati hutan, saya
tidak berani. Saya mengikuti saran pemilik rumah baru tersebut. Sebelum tidur,
dan waktu itu hujan masih belum sepenuhnya reda, pemilik rumah bercerita atas
penderitaannya. Dia mengatakan bahwa hari itu, ia tidak bisa memberi apa-apa,
misalnya makan malam, karena memang tidak memilikinya. Mendengar cerita itu
saya yang pada saat itu masih duduk di SMP, sangat terharu, ikut merasakan
betapa susahnya orang yang tidak memiliki apa-apa. Biasanya, setiap minggu sore
sekembali dari rumah ke kota, saya diberi sangu yang jumlahnya tidak banyak.
Tapi berbeda dengan biasanya, saat itu memang agak berlebih, karena harus
membayar SPP. Tanpa berpikir panjang, uang pemberian ayah, seluruhnya saya
berikan kepada keluarga tersebut. Awalnya, mereka enggan menerimanya, tetapi
saya memaksa, akhirnya diterima. Saya berani memberikan uang itu, dengan
pertimbangan, sekalipun tidak membawa uang, kebutuhan saya dua minggu
berikutnya masih tercukupi. Kewajiban pembayaran SPP masih bisa ditunda. Pagi
setelah subuh, saya berpamitan berangkat ke kota tujuan dengan berjalan kaki.
Pemilik
rumah rupanya tidak tega, saya diantar. Sesampai di ujung hutan, dan mata hari
pun sudah mulai bersinar, saya mempersilahkan orang tersebut kembali. Saya
sudah berani berjalan sendirian. Atas permintaan saya itu, pemilik rumah yang
ngantar itu kembali, dan saya meneruskan perjalanan sendirian hingga nyampai di
sekolah. Suasana yang sangat mengharukan, dua minggu berikutnya, tatkala saya
melewati lagi rumah yang saya ceritakan itu, pemiliknya sudah menghadang saya.
Segera ia mengajak saya singgah, katanya ada sesuatu yang akan disampaikan.
Segera dia menceritakan tentang uang yang dua minggu lalu saya berikan. Ia
bercerita bahwa uang tersebut oleh isterinya dibelikan ketela pohon, kelapa,
dan gula, lalu dimasak sebisanya dijadikan kue. Kue itu kemudian dijual ke
pasar dan ternyata laku. Hanya dalam waktu dua minggu, modal itu sudah kembali
dan bahkan ia juga bisa hidup dari jualan itu. Ia ingin mengembalikan
pinjamannya. Sesungguhnya, saya tidak berharap uang itu dikembalikan. Sejak
awal saya sudah serahkan dengan ikhlas. Saya menyaksikan, ia dan isterinya,
sangat gembira, haru, dan berkali-kali menyampaikan ucapan terima kasih atas
bantuan saya. Saya tidak tahu lagi, orang tersebut sekarang apa masih ada, saya
sudah lama tidak ketemu. Tetapi sekitar lima belas tahun yang lalu, tatkala
sempat ketemu, ia masih ingat peristiwa itu. Keluarga itu sudah tidak miskin
lagi, dan ia selalu mengakui bahwa modal awal kehidupannya dari sangu yang saya
berikan. Setiap bertemu selalu menunjukkan rasa haru dan terima kasih yang amat
mendalam, atas modal yang saya berikan tersebut.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar